Artikel ini mengulas perkembangan ilmu tajwid dalam sejarah Islam, fokus pada masa kekhalifahan dan kontribusi ulama terhadap ilmu tajwid.
Ilmu tajwid adalah salah satu cabang ilmu dalam Islam yang berfokus pada aturan-aturan membaca Al-Qur'an dengan benar dan tepat. Penguasaan tajwid dianggap esensial untuk menjaga kemurnian bacaan Al-Qur'an sebagaimana yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Sejarah perkembangan ilmu tajwid tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Islam, ilmu tajwid mulai mendapatkan perhatian dan berkembang secara signifikan pada masa tertentu. Artikel ini akan mengulas perkembangan ilmu tajwid dalam konteks sejarah Islam, khususnya pada masa kekhalifahan.
Awal Mula Ilmu Tajwid
Ilmu tajwid pada dasarnya lahir bersama dengan turunnya Al-Qur'an. Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril, dan beliau meneruskan bacaan Al-Qur'an ini kepada para sahabatnya dengan cara yang sangat teliti dan tepat, memastikan bahwa setiap huruf dan makhraj (tempat keluarnya huruf) diucapkan dengan benar. Nabi SAW mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya cara membaca Al-Qur'an dengan tajwid yang sempurna. Oleh karena itu, ilmu tajwid sudah ada sejak zaman Nabi, meskipun dalam bentuk yang belum terdokumentasikan secara tertulis.
Pada masa itu, tradisi lisan sangat kuat, dan para sahabat belajar langsung dari Nabi SAW melalui metode sima’ (mendengarkan). Setelah mendengarkan bacaan Al-Qur'an dari Nabi, mereka akan mengulanginya hingga sempurna. Dengan demikian, ilmu tajwid pertama kali berkembang dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu pengajaran lisan dari Nabi kepada para sahabat.
Perkembangan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat utama, yang kemudian dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin, melanjutkan tugas untuk menyebarkan ajaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Al-Qur'an mulai dikumpulkan dalam bentuk mushaf untuk pertama kalinya. Namun, ilmu tajwid belum dibukukan secara formal karena fokus utama saat itu adalah memastikan bahwa teks Al-Qur'an terkumpul dengan benar.
Masa kekhalifahan Utsman bin Affan adalah masa yang sangat penting dalam sejarah penulisan dan penyebaran Al-Qur'an. Ketika Islam menyebar ke berbagai wilayah dengan beragam dialek bahasa Arab, terjadi kekhawatiran bahwa perbedaan dialek bisa menyebabkan perbedaan dalam cara membaca Al-Qur'an. Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat Islam, Utsman bin Affan memerintahkan penulisan dan penyebaran mushaf yang seragam, yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Utsmani.
Namun, di sisi lain, perkembangan ilmu tajwid secara formal masih belum terjadi pada masa ini. Yang ada hanyalah penekanan pada pentingnya menjaga keaslian bacaan Al-Qur'an dengan benar. Karena itulah, sahabat-sahabat yang menguasai bacaan Al-Qur'an dengan baik sering ditunjuk untuk mengajar di wilayah-wilayah yang baru masuk Islam.
Masa Kekhalifahan Umayyah
Pada masa kekhalifahan Umayyah, yang berlangsung dari tahun 661 hingga 750 M, penyebaran Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia, Afrika Utara, dan Spanyol. Perkembangan ilmu tajwid semakin mendapat perhatian karena banyaknya orang non-Arab yang mulai memeluk Islam dan mempelajari Al-Qur'an. Untuk memastikan bahwa bacaan Al-Qur'an tetap terjaga dengan baik, para ulama mulai memperkenalkan aturan-aturan dasar dalam membaca Al-Qur'an kepada kaum muslimin yang bukan penutur asli bahasa Arab.
Namun, sekali lagi, perlu dicatat bahwa ilmu tajwid masih belum dibukukan secara formal pada masa ini. Aturan-aturan tajwid masih diajarkan secara lisan dari guru kepada murid. Di antara para ulama yang terkenal pada masa ini adalah Abu Amr al-Dani, seorang ulama dari Andalusia yang menguasai bacaan Al-Qur'an dengan sangat baik. Karya-karya beliau kemudian menjadi rujukan penting dalam pengembangan ilmu tajwid di masa-masa selanjutnya.
Masa Kekhalifahan Abbasiyah: Zaman Keemasan Ilmu Tajwid
Puncak perkembangan ilmu tajwid terjadi pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yang berlangsung dari tahun 750 hingga 1258 M. Masa ini sering disebut sebagai Zaman Keemasan Islam, di mana ilmu pengetahuan dan budaya Islam berkembang pesat. Baghdad, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah, menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Di sinilah berbagai ilmu, termasuk ilmu tajwid, mengalami perkembangan yang signifikan.
Pada masa Abbasiyah, banyak ulama besar yang menulis kitab-kitab tentang ilmu tajwid. Salah satu ulama yang sangat berpengaruh adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam. Beliau adalah salah satu ulama pertama yang menulis tentang ilmu tajwid secara sistematis. Karyanya yang berjudul "Kitab al-Qira'at" menjadi salah satu rujukan penting dalam ilmu tajwid. Dalam kitab ini, beliau menjelaskan berbagai aturan tentang cara membaca Al-Qur'an, termasuk pengucapan huruf, mad, dan hukum-hukum bacaan lainnya.
Selain itu, pada masa ini juga muncul karya-karya penting lainnya dalam bidang tajwid, seperti "Al-Taysir fi al-Qira'at al-Sab’" karya Abu Amr al-Dani dan "Al-Nashr fi al-Qira'at al-Ashar" karya Al-Shatibi. Karya-karya ini menjadi dasar bagi pengajaran ilmu tajwid di berbagai madrasah dan pesantren di dunia Islam.
Perkembangan Pasca Kekhalifahan Abbasiyah
Setelah runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 1258 M, ilmu tajwid tetap menjadi bagian penting dari kurikulum pendidikan Islam di berbagai wilayah. Meskipun pusat kekhalifahan telah runtuh, namun ilmu tajwid terus berkembang melalui madrasah-madrasah dan pesantren yang didirikan di berbagai wilayah Islam. Bahkan, di beberapa wilayah seperti India, Indonesia, dan Afrika, ilmu tajwid berkembang pesat dan menjadi bagian integral dari pendidikan dasar agama Islam.
Pada masa-masa berikutnya, banyak ulama yang menulis kitab-kitab tentang tajwid dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Salah satu ulama yang terkenal dalam bidang ini adalah Imam al-Jazari. Beliau menulis sebuah kitab yang sangat terkenal, yaitu "Al-Muqaddimah al-Jazariyyah," yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam pengajaran tajwid di seluruh dunia Islam.
Kitab ini berisi ringkasan dari aturan-aturan tajwid yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya dan disusun dalam bentuk nadzam (puisi) agar lebih mudah dihafal oleh para pelajar. Karya Imam al-Jazari ini menjadi bukti bahwa ilmu tajwid telah mencapai puncak kematangan dan siap diajarkan secara masif kepada umat Islam di seluruh dunia.
Pentingnya Ilmu Tajwid dalam Kehidupan Umat Islam
Ilmu tajwid bukan sekadar aturan membaca Al-Qur'an. Ia memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menjaga kemurnian bacaan Al-Qur'an sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan penguasaan tajwid yang baik, seorang muslim dapat membaca Al-Qur'an dengan tepat, sehingga makna yang terkandung di dalamnya tidak berubah atau terganggu. Dalam hal ini, ilmu tajwid berfungsi sebagai penjaga dari kesalahan dalam pengucapan dan intonasi yang bisa merusak makna ayat-ayat Al-Qur'an.
Ilmu tajwid juga memiliki dimensi spiritual yang sangat dalam. Membaca Al-Qur'an dengan tajwid yang baik dapat membawa ketenangan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, pengajaran tajwid di kalangan umat Islam juga berfungsi sebagai sarana untuk memupuk kecintaan terhadap Al-Qur'an dan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu tajwid mulai berkembang sejak masa Nabi Muhammad SAW dan terus mengalami perkembangan pesat pada masa-masa berikutnya, terutama pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa Abbasiyah, ilmu tajwid mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai karya tulis yang menjadi rujukan utama dalam ilmu ini hingga kini. Ilmu tajwid terus berkembang dan menjadi bagian integral dari pendidikan Islam di seluruh dunia. Sebagai umat Islam, penguasaan tajwid adalah kewajiban yang harus dijalani untuk menjaga kemurnian bacaan Al-Qur'an dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Credit:
Penulis : Danang
Gambar Oleh mataqdarululum dan TayebMEZAHDIA dari pixabay



Komentar